Bismillah.
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Ibadah itu mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak dan yang tersembunyi. Salah satu bentuk ibadah adalah rasa takut. Para ulama bahkan menyebut rasa takut termasuk pilar ibadah di samping pilar ibadah yang lain semacam cinta dan harapan.
Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja maka dia adalah zindik. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan harap saja maka dia adalah Murji’ah. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja maka dia adalah Haruri/Khawarij.”
Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa ibadah yang benar adalah yang meramu ketiga pilar ibadah hati itu -takut, cinta, dan harap- dalam amal dan ketaatan yang kita kerjakan. Kedua pilar ibadah -yaitu takut dan harap- dilukiskan seperti keadaan dua belah sayap seekor burung. Keduanya harus ada dan sehat agar burung itu bisa terbang. Dan rasa cinta digambarkan laksana kepalanya sehingga tanpa kepala burung itu akan binasa.
Apabila kita buka-buka kembali pelajaran tauhid, maka kita juga mendapati bahwa sebagian ulama terdahulu menyatakan bahwa kesabaran bagi iman laksana kepala bagi badan. Apabila tidak ada kepala maka badan binasa. Demikian pula agama tanpa kesabaran akan sirna. Hal ini seolah mengisyaratkan kepada kita bahwa kecintaan dan kesabaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana dikatakan oleh orang bijak terdahulu, “Sesungguhnya orang yang mencintai pasti akan taat kepada siapa yang dicintainya.” Orang yang cinta kepada Allah tentu akan taat dan patuh kepada Allah, sebagaimana orang yang cinta kepada Allah juga akan mengikuti Rasulullah. Untuk bisa melaksanakan ketaatan itu setiap orang butuh kesabaran; sabar dalam menjalankan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya.
Begitu pula dengan rasa takut. Para ulama kita terdahulu menggambarkan bahwa keberadaan rasa takut dalam hati merupakan sebab kebaikan, apabila ia lenyap niscaya hancurlah hati itu. Bahkan tidaklah seorang hamba dikatakan berilmu dengan hakiki kecuali setelah rasa takut kepada Allah meresap dan mengaliri aktifitas kehidupannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu adalah rasa takut.”
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengungkapkan rasa takutnya, “Seandainya ada yang berseru dari langit; ‘Masuklah kalian semua ke surga kecuali satu orang’ benar-benar aku khawatir apabila satu orang yang tidak boleh masuk itu adalah diriku…”
Imamnya para ahli tauhid yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam -sang kekasih ar-Rahman- pun merasa takut dirinya terjangkiti kemusyrikan, padahal beliau adalah panglima pembasmi pemberhalaan. Allah berfirman mengisahkan doanya (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim : 35)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang beriman memadukan dalam dirinya antara perbuatan baik dengan merasa takut, sedangkan orang kafir memadukan dalam dirinya antara perbuatan buruk dengan merasa aman-aman saja.”
Salah satu yang wajib untuk kita takuti adalah azab di hari kiamat. Karena azab di hari kiamat merupakan bukti keadilan Allah atas hamba-hamba-Nya. Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan merahmati siapa yang dikehendaki-Nya. Maka seorang muslim tentu takut akan keadaan dirinya ketika menghadap Allah di akhirat sana.
Karena rasa takutnya itulah dia meninggalkan larangan Allah dan tunduk kepada perintah dan ajaran-Nya. Karena rasa takutnya pula dia bertaubat dari maksiat dan kembali meniti jalan-Nya. Rasa takut ini pula yang menjaganya untuk bersabar menjauhi keharaman dan terus melakukan ketaatan. Rasa takutnya itulah yang menjaga dirinya -setelah taufik dari Allah- sehingga berjalan di atas ketakwaan seraya mengharap pahala dari-Nya…
—